Redaksi
Kesetaraan Gender; Sampai Kapan Jadi Setara?
By 31 July 2022
|SUMBER GAMBAR : FREEPIK
Ada begitu banyak nama tokoh perempuan dalam sejarah yang mengukirkan prasasti kemenangan mereka—tak hanya di bidang yang mereka giati—tetapi juga atas pergolakan masalah layak atau tidaknya perempuan tampil di depan umum. Marie Curie, Isadora Duncan, RA Kartini, serta deretan yang tentunya membuat kita sadar bahwa pintu “kesetaraan” itu sudah dibukakan sejak waktu yang begitu lama. Perempuan yang semula hanya jadi predikat atas dapur, tugas rumah, dan pendamping laki-laki, kini berubah menjadi sosok pejuang yang juga memiliki hak atas pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Dari tujuh belas poin Sustainable Development Goals yang telah ditetapkan oleh PBB, tujuan kelima adalah achieve gender equality and empower all women and girls. Dalam artikelnya, PBB menuliskan bahwa kesetaraan gender yang kerap kali dibicarakan bukan hanya mengenai fondasi mental kehidupan, tetapi juga sebuah perwujudan dunia yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan. Penjelasan tersebut diikuti catatan-catatan kemajuan yang ditorehkan oleh wanita dan bagaimana perjuangan kaum wanita dalam membuktikan bahwa mereka juga pantas memangku lebih dari urusan-urusan “rumah”.
Dalam artikel yang sama, tertulis pula bahwa semakin kaum wanita berhasil memberikan pembuktikan terkait eksistensi mereka, semakin kompleks pula permasalahan yang muncul terkait kesetaraan. Ada banyak miskonsepsi mengenai kesetaraan gender itu sendiri, yang sering kali, dimaknai hanya seputar perkara pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diemban setiap gender. Akan tetapi, pada kenyataannya, kesetaraan gender—sesuai dengan definisinya—bicara gender yang setara dari berbagai sisi (peluang, apresiasi, nilai-nilai sosial) tanpa keharusan untuk menyamakan kedua gender yang berbeda tersebut dalam satu sisi yang sama. Pada hakikatnya, gender dapat disimbolkan dari atribut-atribut yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tentunya, ada cukup banyak atribut yang tidak bisa disamakan seratus persen terkait keduanya (misal, laki-laki tentunya tidak bisa secara alami menggantikan peran perempuan untuk mengandung dan melahirkan) yang tentunya bukan definisi dari kesetaraan gender itu sendiri. Akan tetapi, ketika kita bicara peluang merawat anggota keluarga (yang notabenenya dilakukan oleh mayoritas perempuan), laki-laki juga memiliki peluang yang sama dengan perempuan. Sama halnya dengan pekerjaan di luar permasalahan rumah tangga, perempuan pun memiliki peluang yang sama sebagaimana laki-laki.
Sebagaimana PBB mengumandangkan bahwa kesetaraan yang diperjuangkan oleh kaum perempuan merupakan sesuatu yang kian kompleks seiring berjalannya waktu, selain masalah kesempatan, hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah apresiasi antargender. Apresiasi tidak hanya bicara pemberian penghargaan terhadap satu gender tertentu, tetapi juga pengakuan atas kelayakan gender tersebut terhadap kesempatan atau suatu kepentingan. Selama kedua gender tidak memiliki kesamaan pola pikir mengenai standar kelayakan sikap atau perilaku gender lain terhadap suatu hal, maka kesetaraan tentunya menjadi sesuatu yang sulit untuk dicapai.
Pada akhirnya, kesetaraan gender tentunya tidak hanya berbicara mengenai pekerjaan spesifik atau kesamaan secara ril yang perlu dicapai dari dua gender berbeda. Lebih dari itu, kesetaraan gender bicara mengenai bagaimana dua gender–yang notabenenya berbeda–saling memberi kesempatan dan meyakini bahwa setiap gender layak untuk menerima peluang yang sama dalam berbagai hal.
More News
Redaksi
Tips Mengatasi Kecanduan Teknologi Zaman Now
News
Stop Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi!
Program