News

Cina Benteng: Peradaban Tionghoa di Kota Tangerang

By Emmanuel Elang | 15 May 2024

Ultimates, istilah “Cina Benteng” mungkin bukan hal yang asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Tangerang dan sekitarnya. Sebutan ini banyak digunakan untuk warga keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Tangerang. 

Berdasarkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan banyak penuturan dari para warga keturunan Cina Benteng, julukan ini awalnya disematkan kepada komunitas Tionghoa peranakan Betawi dan Sunda yang bermukim di dekat benteng kompeni pada masa pendudukan Belanda. 

Menurut sejarah, penamaan ini tidak lepas dari lokasi permukiman orang-orang Tionghoa di kawasan Benteng (port) Makassar yang dibangun VOC di Kota Tangerang sebagai basis pertahanan dalam menghadapi Kesultanan Banten. Pada saat itu, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu, tinggal di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu, di luar Benteng Makassar. 

Sebutan “Cina Benteng” kemudian menjadi populer untuk menyebut komunitas Tionghoa yang telah lama tinggal di Indonesia, khususnya di kawasan pesisir utara Jawa Barat, seperti di Tangerang, Jakarta Utara, dan sekitarnya. 

Di era sekarang, istilah "Cina Benteng" dianggap kurang tepat karena mengandung konotasi yang kurang menghormati. Oleh karena itu, istilah "Tionghoa Tangerang" atau "Tionghoa Benteng" lebih sering digunakan karena mencerminkan identitas ke-Tionghoa-an mereka dan sejarah panjang mereka di wilayah Tangerang dan sekitarnya.

Ikhtisar sejarah Cina Benteng

Orang-orang Tionghoa sudah berada di Tangerang sebelum kedatangan Portugis dan Belanda di Batavia. Keberadaan komunitas Tionghoa di Tanah Jawa telah hadir sejak masa transisi dari peradaban Hindu-Budha ke Kerajaan Islam. Kedatangan mereka melewati salah satu daerah di Tangerang, bernama Teluk Naga. Sekitar abad ke-15, Teluk Naga memiliki sebuah pelabuhan yang dapat menampung kapal-kapal ekspansi dari dalam Nusantara maupun dari luar Nusantara. 

Kala itu, Tanjung Kait, sebagai pusat pelabuhan di Teluk Naga, mampu untuk menarik perhatian para pedagang dari Tiongkok untuk singgah dan melakukan perdagangan dengan masyarakat lokal. Nama Teluk Naga diadaptasi dari perahu-perahu Tiongkok yang hampir seluruh bagian kapalnya berhiaskan ornamen naga. 

Kedatangan para pedagang Tiongkok, yang tidak membawa pasangan atau keluarga, kemudian mendorong adanya tradisi kawin campur dengan wanita lokal. Perkawinan antara pria Tionghoa dan wanita dari masyarakat setempat ini kemudian membuat adanya pergeseran kultur dan sosial. Dari adanya tradisi tersebut, mulailah terbentuk komunitas Tionghoa peranakan yang lambat laun menjadi masyarakat mayoritas di Tangerang. Komunitas ini amat mencintai kultur agraris dan lebih memilih untuk membuka kebun serta persawahan dibanding mendirikan tambak sebagai mata pencarian.

Kerap dilanda diskriminasi

Meski sejak lama tinggal dan berkomunitas di Tanah Jawa, nyatanya para warga keturunan Tionghoa ini kerap kali mendapatkan perilaku diskriminatif dari masyarakat pribumi. Sejak era Orde Baru, peranakan Tionghoa mendapat stereotip sebagai suatu komunitas yang anti sosial, gila harta, dan tak peduli lingkungan. 

Pada masa kerusuhan 1998, menurut Gareng, salah satu pengurus Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama Tangerang, meskipun tindakan diskriminasi secara khusus tidak ditujukan kepada etnis Tionghoa, kerusuhan tersebut menyebabkan banyak orang Tionghoa menjadi korban diskriminasi, kekerasan fisik ataupun seksual, dan penjarahan properti.

Sikap-sikap diskriminasi masih kerap diterima oleh warga keturunan Tionghoa-Indonesia, khususnya Tionghoa Benteng, hingga saat ini. Swei Yin Tjioe, seorang ibu rumah tangga beretnis Tionghoa Benteng, mengaku mulai menerima perilaku diskriminatif setelah menginjak usia dewasa, ketika terjun langsung dalam masyarakat.

Dampak yang dialami pada dasarnya tidak begitu terasa dalam keseharian, hanya saja membuat dirinya harus lebih berhati-hati dalam bersikap agar tidak menyinggung orang lain atau berhati-hati dalam bermasyarakat. Menurut Swei, Tionghoa Benteng mendapat diskriminasi bukan karena sukunya, melainkan karena faktor perbedaan agama, yang terjadi bukan hanya pada Tionghoa Benteng saja, dan adanya perbedaan dari sesama keturunan Cina-Indonesia (Chindo) sendiri. 

Berbeda dari komunitas keturunan Tionghoa lainnya, Tionghoa Benteng memiliki ciri-ciri berkulit gelap dan tidak diajarkan Bahasa Mandarin di rumah. Hal ini menyebabkan adanya diskriminasi dari Chindo lainnya, seperti Chindo Medan atau Chindo Kalimantan, yang sering menyebut Tionghoa Benteng sebagai fanpo atau pembantu. 

Menurut Swei, diskriminasi yang diterimanya membuat ia merasa perlu lebih ekstra dalam menjaga sikap dalam bermasyarakat dan menerima keadaan bahwa ia, sebagai keturunan Tionghoa Benteng, hanya bagian dari masyarakat minoritas. 

Swei menambahkan, ia merasa cukup beruntung karena pemerintah Kota Tangerang telah cukup memberikan fasilitas dan berupaya untuk mengatasi diskriminasi terhadap kaumnya. Setiap tahun, pemerintah bahkan mengadakan Festival Perahu Naga, yang merupakan perpaduan budaya Tionghoa dan Tangerang asli), dan mendukung acara pemilihan Cide dan Kode Benteng. Dorongan dari pemerintah tersebut akhirnya membantu masyarakat Tionghoa Benteng untuk menyikapi diskriminasi dengan menjadi diri sendiri, bersikap apa adanya, menjauhi kaum ekstrimis, lebih bertoleransi, dan menerima keadaan.